Jumat, 17 Oktober 2014

Aksara Dibalik Dinding

Aku melihat kesedihan telah turun kejalan-jalan
ia datang dari balik tembok kota yang dingin
menyusup kedalam mulut-mulut trotoar

Aku melihat kesedihan menari diantara kerlip lampu jalanan
mementaskan seribu nestapa kehidupan

Kesedihan bukan lagi air mata
kini ia telah menjadi darah dalam darah
membeku disetiap nadi kota
menjadi racun dalam gelas-gelas berkaca

kemana kemanusian bersembunyi

Saat kereta kematian
telah menggelinding menembus rel-rel kelam peradaban
diantara kemegahan
yang tertidur pulas dibawa kaki zaman

kemana kemanusiaan bersembunyi

Saat serombongan burung gagak berkaok
mengintai dibalik jendela
memunguti darah-darah pesakitan yang tak lagi merah
saat srigala-srigala lapar
telah mengambil keringat dijantungnya

Wahai saudaraku yang merintih dipojok jalan
yang mengunyah nasi dengan mata berkaca
yang menanti pagi berselimut sisa gelisah

Matamu adalah belati
tajam menyayat
menusuk jantung matahari

Wahai saudaraku yang yang tertembus peluru waktu
yang menghitung-hitung hari dengan wajah membeku
yang duduk diam dipangkuan malam

Matamu adalah dendam
berkilat sunyi
membelah dada rembulan

26 Agustus 2014
@Pena_Signora

1 komentar: