Aku datang kepada laut,
kurasakan gelombang-gelombang panjangnya
bergemuruh dalam dadaku
Ia memainkan melodi ombak nan syahdu
lalu mengilhamkan maknanya kejantungku
Kala senja baru muncul dari bibir langit
Sinar surya jatuh diatas gaunnya yang biru
memoleskan warna merah tembaga
pada tiap lengkung riak dibuihnya nan putih
Angin genit berlarian diatas sayap gelombangnya
yang berkejaran menuju tepi
untuk memeluk pantainya yang anggun
Laut yang luas tak pernah tidur barang sejenak
ia senantiasa bergerak
dan bernyanyi riang dari pantai kepantai
Keluwesan terlihat dari gemulai jemarinya nan ombak
menari lincah bersama camar-camar hitam
yang berterbangan diatas permukaannya
yang tak perna diam dan tenang
Laut yang luas;
seluas kata yang tak perna habis menuliskan lekuknya
ia seumpama jantung yang terus berdenyut
yang berdetak kencang didada bumi
Malam yang sunyi tak bisa mematikan hasrat lagunya
karna ia seperti angin yang tak berhenti bernyanyi
terus terjaga sepanjang hari
untuk menemani pantainya yang sepi
28 Agustus 2014
@Pena_Signora
Aku tak memiliki apa pun yang bisa kuberikan padamu, hanya kekayaan hati warisan dari angin dan hujan, yang tak kan habis untuk berbagi ketabahan
Jumat, 17 Oktober 2014
Kuakui
Kuakui;
aku telah tertinggal sangat jauh
disaat semua jiwa telah berubah menjadi kota
hatiku tetaplah desa yang lugu
yang tak perna tersentuh mesin-mesin waktu
Dan sementara semua orang
telah membangun dinding-dinding megah
bagi istana jiwanya
hatiku masihlah gubuk beralas jerami
yang tetap setia dengan kesederhanaannya
Sungguh kuakui;
aku telah ditinggalkan kereta peradaban
dan tercecer jauh dibelakang
seperti rumah kecil
yang tak bisa menjangkau atap-atap zaman
26 Agustus 2014
@Pena_Signora
aku telah tertinggal sangat jauh
disaat semua jiwa telah berubah menjadi kota
hatiku tetaplah desa yang lugu
yang tak perna tersentuh mesin-mesin waktu
Dan sementara semua orang
telah membangun dinding-dinding megah
bagi istana jiwanya
hatiku masihlah gubuk beralas jerami
yang tetap setia dengan kesederhanaannya
Sungguh kuakui;
aku telah ditinggalkan kereta peradaban
dan tercecer jauh dibelakang
seperti rumah kecil
yang tak bisa menjangkau atap-atap zaman
26 Agustus 2014
@Pena_Signora
Aksara Dibalik Dinding
Aku melihat kesedihan telah turun kejalan-jalan
ia datang dari balik tembok kota yang dingin
menyusup kedalam mulut-mulut trotoar
Aku melihat kesedihan menari diantara kerlip lampu jalanan
mementaskan seribu nestapa kehidupan
Kesedihan bukan lagi air mata
kini ia telah menjadi darah dalam darah
membeku disetiap nadi kota
menjadi racun dalam gelas-gelas berkaca
kemana kemanusian bersembunyi
Saat kereta kematian
telah menggelinding menembus rel-rel kelam peradaban
diantara kemegahan
yang tertidur pulas dibawa kaki zaman
kemana kemanusiaan bersembunyi
Saat serombongan burung gagak berkaok
mengintai dibalik jendela
memunguti darah-darah pesakitan yang tak lagi merah
saat srigala-srigala lapar
telah mengambil keringat dijantungnya
Wahai saudaraku yang merintih dipojok jalan
yang mengunyah nasi dengan mata berkaca
yang menanti pagi berselimut sisa gelisah
Matamu adalah belati
tajam menyayat
menusuk jantung matahari
Wahai saudaraku yang yang tertembus peluru waktu
yang menghitung-hitung hari dengan wajah membeku
yang duduk diam dipangkuan malam
Matamu adalah dendam
berkilat sunyi
membelah dada rembulan
26 Agustus 2014
@Pena_Signora
ia datang dari balik tembok kota yang dingin
menyusup kedalam mulut-mulut trotoar
Aku melihat kesedihan menari diantara kerlip lampu jalanan
mementaskan seribu nestapa kehidupan
Kesedihan bukan lagi air mata
kini ia telah menjadi darah dalam darah
membeku disetiap nadi kota
menjadi racun dalam gelas-gelas berkaca
kemana kemanusian bersembunyi
Saat kereta kematian
telah menggelinding menembus rel-rel kelam peradaban
diantara kemegahan
yang tertidur pulas dibawa kaki zaman
kemana kemanusiaan bersembunyi
Saat serombongan burung gagak berkaok
mengintai dibalik jendela
memunguti darah-darah pesakitan yang tak lagi merah
saat srigala-srigala lapar
telah mengambil keringat dijantungnya
Wahai saudaraku yang merintih dipojok jalan
yang mengunyah nasi dengan mata berkaca
yang menanti pagi berselimut sisa gelisah
Matamu adalah belati
tajam menyayat
menusuk jantung matahari
Wahai saudaraku yang yang tertembus peluru waktu
yang menghitung-hitung hari dengan wajah membeku
yang duduk diam dipangkuan malam
Matamu adalah dendam
berkilat sunyi
membelah dada rembulan
26 Agustus 2014
@Pena_Signora
Langganan:
Postingan (Atom)